Tuesday, 18 March 2014

Candi Tugu, Warisan Sejarah yang Terabaikan


 
candi tugu semarang
Melongok Saksi Bisu Candi Tugu
Tak banyak yang ku pinta
Cukup kuatkan hatiku dengan doamu
Agar ku tetap bisa menyayangimu
Sepanjang namamu masih terukir di hatiku

Tulisan di atas ditulis dengan tipex putih di salah satu sudut Candi Tugu sebelah timur yang ada di Dusun Candi Krajan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Coretan tersebut bukanlah tulisan yang memberikan pesan kepada masyarakat. Namun, sekadar goresan tangan jahil pengunjung. Ekspresi seorang pengunjung yang sedang meluapkan kebahagiannya. Sekilas, untaian kata tersebut dibuat pada tanggal 13 September 2013. Penulisnya pun mengaku bernama Vievien.
Bagi sebagian masyarakat Semarang, Candi Tugu yang terletak pada tanah seluas sekitar 1.200 meter persegi ini memang tidak asing, tapi kurang populer. Berbagai peninggalan, seperti yoni, arca dan batu ukiran masih terlihat, kendati tidak beraturan. Untuk bisa sampai di lokasi, pengunjung tidak membayar tiket alias gratis. Wajar saja, sepanjang perjalanan tidak ditemukan petugas satu pun di lokasi.
Untuk bisa sampai ke atas bukit tidak terlalu sulit, meski harus menghela nafas panjang menapaki 98 anak tangga. Sesampainya di atas, iringan suara pemecah batu terdengar cukup kencang. Panorama pemandangan dari atas bukit pun lumayan menyejukkan. Sejenak, kita dapat melihat petak-petak tambak, hamparan sawah, pohon bakau dan terbentang luasnya laut Jawa.
Tak hanya itu, pada dinding terdapat pula tulisan Jawa dan Belanda yang terpahat.  Terlihat seorang lelaki tengah asyik mencabuti rumput. Sampah yang berserakan dia sapu dan lumut-lumut yang melekat di dinding candi juga dibersihkan. Hampir 45 menit dia membersihkannya. Dialah Purwadi. Ayah dua anak ini merupakan orang yang mendapat mandat untuk menjaga kebersihan sekeliling candi. Menurutnya, setiap bulan sekali dia menjalankan amanah membersihkan candi.
Meski hanya sebagai petugas kebersihan, Purwadi mengaku sangat menikmati. Setiap membersihkan candi, di mana candi tersebut merupakan tapal batas antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran, ia mendapat upah Rp 50.000. Kecil memang, tapi ia mengaku terbantu dari tambahan pemasukan ini. ”Kerja Ini kan hanya sambilan, jadi tetap disyukuri,” ungkapnya.
 Menurutnya, daerah Tugurejo dahulu merupakan bagian dari Laut Jawa yang daerahnya masih berupa lautan dan tugu yang berada di depan candi merupakan tempat penambatan kapal-kapal. ”Dulu ada buktinya, dengan terdapat rantai kapal yang melingkari Tugu. Sekarang saya tidak tahu dan barangnya entah di mana,” terangnya.
Meski demikian, ia mengaku tidak rela ketika candi yang masih kokoh berdiri di atas perbukitan batu cadas ini digunakan untuk perbuatan yang tercela itu. Terkadang memang ada pengunjung yang sering mencorat-coret candi. Namun, Purwadi sering membersihkannya dengan mengecat ulang. Tapi, setelah dibersihkan  selalu saja muncul coretan-coretan lagi.
Menurut  warga RT 07 RW 01, Karjono, setelah pemugaran tahun 80-an candi ini dibiarkan begitu saja. Dalam candi ini tidak ada lagi pembenahan-pembenahan infrastruktur. Akibatnya bangunan dengan nilai sejarah ini cukup mengkhawatirkan.
”Saya berharap Pemkot mau merawat lagi dengan memberi tambahan beberapa alat permainan, sehingga lokasi candi ini semakin ramai dan dapat memberikan wisata alternatif seperti halnya di Taman Lele,” harapnya. (Abdus Salam/b5)


0 comments:

Post a Comment