Melongok Saksi Bisu
Candi Tugu
Tak banyak yang ku pinta
Cukup kuatkan hatiku dengan doamu
Agar ku tetap bisa menyayangimu
Sepanjang namamu masih terukir di hatiku
Tulisan di atas
ditulis dengan tipex putih di salah satu sudut Candi Tugu sebelah timur yang
ada di Dusun Candi Krajan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Coretan tersebut bukanlah
tulisan yang memberikan pesan kepada masyarakat. Namun, sekadar goresan tangan
jahil pengunjung. Ekspresi seorang pengunjung yang sedang meluapkan kebahagiannya.
Sekilas, untaian kata tersebut dibuat pada tanggal 13 September 2013.
Penulisnya pun mengaku bernama Vievien.
Bagi sebagian masyarakat
Semarang, Candi Tugu yang terletak pada tanah seluas sekitar 1.200 meter
persegi ini memang tidak asing, tapi kurang populer. Berbagai peninggalan,
seperti yoni, arca dan batu ukiran masih terlihat, kendati tidak beraturan.
Untuk bisa sampai di lokasi, pengunjung tidak membayar tiket alias gratis.
Wajar saja, sepanjang perjalanan tidak ditemukan petugas satu pun di lokasi.
Untuk bisa sampai ke
atas bukit tidak terlalu sulit, meski harus menghela nafas panjang menapaki 98
anak tangga. Sesampainya di atas, iringan suara pemecah batu terdengar cukup
kencang. Panorama pemandangan dari atas bukit pun lumayan menyejukkan. Sejenak,
kita dapat melihat petak-petak tambak, hamparan sawah, pohon bakau dan
terbentang luasnya laut Jawa.
Tak hanya itu, pada
dinding terdapat pula tulisan Jawa dan Belanda yang terpahat. Terlihat seorang lelaki tengah asyik mencabuti
rumput. Sampah yang berserakan dia sapu dan lumut-lumut yang melekat di dinding
candi juga dibersihkan. Hampir 45 menit dia membersihkannya. Dialah Purwadi. Ayah
dua anak ini merupakan orang yang mendapat mandat untuk menjaga kebersihan
sekeliling candi. Menurutnya, setiap bulan sekali dia menjalankan amanah
membersihkan candi.
Meski hanya sebagai
petugas kebersihan, Purwadi mengaku sangat menikmati. Setiap membersihkan candi,
di mana candi tersebut merupakan tapal batas antara Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Pajajaran, ia mendapat upah Rp 50.000. Kecil memang, tapi ia mengaku terbantu
dari tambahan pemasukan ini. ”Kerja Ini kan hanya sambilan, jadi tetap
disyukuri,” ungkapnya.
Menurutnya, daerah
Tugurejo dahulu merupakan bagian dari Laut Jawa yang daerahnya masih berupa
lautan dan tugu yang berada di depan candi merupakan tempat
penambatan kapal-kapal. ”Dulu ada buktinya, dengan terdapat
rantai kapal yang melingkari Tugu. Sekarang saya tidak tahu dan barangnya
entah di mana,” terangnya.
Meski demikian, ia
mengaku tidak rela ketika candi yang masih kokoh berdiri di atas perbukitan
batu cadas ini digunakan untuk perbuatan yang tercela itu. Terkadang memang ada
pengunjung yang sering mencorat-coret candi. Namun, Purwadi sering
membersihkannya dengan mengecat ulang. Tapi, setelah dibersihkan selalu saja muncul coretan-coretan lagi.
Menurut warga RT 07 RW 01, Karjono, setelah pemugaran
tahun 80-an candi ini dibiarkan begitu saja. Dalam candi ini tidak ada lagi
pembenahan-pembenahan infrastruktur. Akibatnya bangunan dengan nilai sejarah
ini cukup mengkhawatirkan.
”Saya berharap Pemkot
mau merawat lagi dengan memberi tambahan beberapa alat permainan, sehingga
lokasi candi ini semakin ramai dan dapat memberikan wisata alternatif seperti
halnya di Taman Lele,” harapnya. (Abdus
Salam/b5)
0 comments:
Post a Comment